Hari ini adalah selasa yang istimewa,
tanggal 1 mei karenanya. Di jerman juga di beberapa negara yang lain setiap
tanggal 1 mei telah sejak lama diakui dan ditetapkan sebagai hari libur
nasional pun international dan angka di kalender pasti tercetak merah. Hari
inilah hari rayanya kelas pekerja. Untuk itu sudah seharusnya di negara kita
tercinta Indonesia raya yang mayoritas penduduknya adalah dari kelas pekerja
adalah wajar jika setiap 1 mei ditetapkan sebagai hari libur resmi nasional.
Jika untuk mengakui satu hari saja sebagai harinya para buruh cukup ribet,
mudah dibayangkan bagaimana kondisi kelas pekerja di bumi pertiwi yang kaya
raya ini. Dengan terpaksa mereka mengais rejeki di negeri orang, yang terkadang
tak ada perlindungan yang wajar, malah dimanfaatkan saudara sebangsa sendiri.
Banyaknya kasus yang menimpa TKI menandakan belum optimalnya fungsi negara
untuk melindungi warganya. Buruh yang berani bicara malah diintimidasi bahkan
tak segan dihabisi nyawanya setelah memakai kekerasan ekonomi tak mempan.
Sementara yang lain sengaja dibuat mengambang bingung, sehingga tak ada jalan
lain selain menuruti kehendak kuasamodal yang dikabarkan sebagai takdir yang
tak terelakan dari langit.
Setiap 1 mei kita kembali diingatkan bahwa
ternyata keadaan masih belum memihak pada kelas pekerja, walaupun sudah tak
separah seperti masa orde baru, tapi bagaimanapun setiap masalah harus
dicarikan solusi. Perlu perjuangan untuk itu, setiap perjuangan butuh energi
penggerak. Namun yang tak kalah penting adalah kemauan dari kelas pekerja
sendiri, yang mempunyai kekuatan yang sesungguhnya, untuk menentukan kapan
saatnya mereka ingin perubahan. Sudahkah kita, kelas pekerja tahu betul
kekuatan posisi tawar yang kita miliki? Sudahkah kita, kelas pekarja
terorganisir rapi seperti organisasi para pemilik modal?
Bicara soal pergerakan buruh tak akan bisa lepas
dari keberadaan tokoh yang satu ini, adalah Karl Marx, tokoh yang kita kenal
dengan jenggotnya yang sangat lebat. Sepak terjangnya bersama Friedrich Engels
telah memicu revolusi proletar di eropa sebelum perang dunia pertama dan masih
sangat berpengaruh sampai sekarang, bahkan di negara kita orang pun masih
malu-malu untuk sekedar membicarakannya. Karl Marx masih dianggap hantu bagi
sebagian kalangan, bahkan para pembacanya dianggap pengikut setan yang halal
darahnya. Bernasib buruk diakhir hidupnya, mati di pembuangan jauh dari tempat
kelahirannya. Tapi semangatnya terus menyala turun menurun sepanjang masa.
Kali ini aku mau ajak kawan-kawan sejenak untuk
melihat kota kelahiran Mbah Jenggot ini. Trier nama kota itu sekarang,
posisinya berada di pinggir sungai mosel dan berbatasan langsung dengan
Luxemburg, adalah kota tertua yang dimiliki negara Jerman. Kota ini adalah
salah satu pusat pemerintahan kekaisaran terakhir jaman romawi, yang pada tahun
284 masehi dibagi 4 wilayah pemerintahan. Tiga kota lainnya adalah Milan (Italia), Thessalonike (wilayah negara
balkan) dan Nikomedia (Izmir, Turki).

Jejak-jejak peninggalan kejayaan jaman romawi
masih sedikit banyak bisa kita saksikan. Salah satunya adalah Porta Nigra
(Gerbang Hitam), yang dibangun pada tahun sekitar 180 masehi. Bangunan ini
dulunya adalah pintu gerbang bagian utara kota Augusta Treverorum (nama
kuno Trier). Selain sebagai jalur lalu lintas, juga merupakan tempat jebakan
bagi musuh. Di tengah bangunan ini terdapat atrium yang di bagian atas
dikelilingi balkon. Dari balkon tersebut para penjaga kota menumpahkan aspal
cair yang panas mendidih ke rombongan pengacau atau penyerang yang mau memasuki
wilayah kotapraja. Tidak heran jika batu kapur material utama banguan ini
semakin legam warnanya, gara-gara terkena bekas cipratan aspal tir. Kemudian
namanya pun berganti menjadi Porta Nigra alias gerbang hitam sejak jaman
pertengahan. Secara fonetik kata Trier punya kemiripan dengan tir, entah ada
hubungannya atau tidak perlu penelitian lebih lanjut.
Pada jaman pertengahan atau sering disebut
sebagai jaman kegelapan di eropa, porta nigra menjadi bagian dari sebuah
gereja, yang dibangun menempel dengan bangunan lama. Sekarang bangunan
gerejanya sudah tak ada lagi, yang masih tersisa adalah bangunan asli gerbang
yang tetap kokoh berdiri sampai saat
ini.

Porta Nigra menjadi saksi bisu jatuh bangunnya
kota Trier serta masyarakatnya. Sejak jaman tak bersinyal kekaisaran romawi
merambat ke jaman pertengahan yang didominasi gereja dan institusinya terus
kemudian ke jaman reformasi kristen Martin Luther, terus invasi dari Perancis
lewat Napoleon Bonaparte sampai revolusi proletar yang mengharu biru dunia
eropa, kemudian dilanjutkan dengan dua babak perang dunia yang sampai akhirnya
pada era modern sekarang jamannya aifon dan blekberi Porta Nigra
si gerbang gosong itu tetap bisa tegap berdiri. walaupun pembangunannya tidak
menggunakan teknologi yang modern. Keberadaannya seolah mau berteriak kepada
siapa saja yang memandangnya: Jangan lupakan sejarah kawan dan belajarlah
dari sana, kamu akan bisa bertahan dan mampu melewati masa-masa sulit yang
menimpamu!!
Mengamati Porta Nigra yang kokoh menjulang
tinggi, yang sejak tahun 1986 telah diakui sebagai warisan dunia oleh unesco
dan sekarang menjadi maskot kebanggaan kota Trier, membuatku mau tak mau untuk
membayangkan situasi jaman kuno dulu beserta orang-orangnya, tentu juga si
kecil Karl Marx sebelum janggutnya tumbuh lebat, dia pasti pernah bermain-main
dengan teman sebayanya di sekitar tempat ini. Masa lalu yang menarik untuk
dibayangkan tapi mustahil dapat diulangi lagi.
Masih banyak jejak peninggalan jaman romawi di
kota ini yang sangat menarik untuk dikabarkan, tapi tunggu sampai episode
berikutnya.sm