Saturday 13 December 2014

Der sprechende Stein


Lebaran 2014 akhirnya bisa pulang kampung, kebetulan hari raya idul fitri tahun ini waktunya berada di tengah-tengah liburan semester musim panas yang memang agak lama dibandingkan liburan musim dingin. Seperti kita semua tahu kalau hari raya idul fitri selalu bergeser 11 hari ke depan, karena perbedaan penanggalan masehi dan hijriyah, perhitungan atas dasar rotasi matahari dan bulan.


Akhirnya bisa pameran juga!
Kira-kira lima tahun tak beredar di dunia kesenirupaan di Indonesia, sebuah kesempatan yang sangat langka dapat berpameran di Bentara Budaya Jakarta.
Der sprechende Stein adalah sebuah pameran tunggal seni grafis Lithografie pertama di Indonesia. Judul pameran berarti batu yang berbicara, mencoba merangkum semua tema yang saya geluti selama membuat karya dengan teknik yang dikategorikan dalam seni cetak datar. Semua karya saya pada umumnya bercerita, sehingga batu litho sebagai media penceritaan.
Persiapan pameran yang sebenarnya hanya beberapa minggu sebelum hari H alias mepet-pet. Memang satu tahun sebelumnya pihak Bentara Budaya sudah memberi lampu hijau terhadap proposal pameranku, namun persiapan pameran yang nyata menyangkut teknis dst. baru dikerjakan setelah saya berada di bumi pertiwi lagi.



Rencana awal tersendat pula selama 10 hari dengan kondisi kesehatan kami sesampainya di tanah air. Baru setelah fisik kembali fit segala persiapan dimulai. Saya sangat beruntung mempunyai teman-taman yang masih mau ikut bersusah payah memberi saran dan masukan segala informasi yang  dibutuhkan, seperti: di mana beli kertas, di mana dan bagimana urusan cetak mencetak katalog termasuk finishingnya. Di samping itu saya masih juga harus menunggu kepastian kapan pigura selesai, dan musti pula mencari transport ke jakarta, mengingat waktu sudah tak mungkin lagi mengirimkannya lewat jasa pengiriman paket atau pos. Akhirnya dapat juga angkutan yang didambakan pada detik-detik terakhir. Begitu pula dengan tokoh yang akan membuka pameran, lagi-lagi aku beruntung mas Devy Ferdianto, tokoh seni grafis tanah air dari bandung mau bergegas ke jakarta untuk meresmikan pameran seni grafis yang langka di indonesia tersebut.


Oleh nauli desain katalog (mengingat waktu yang terbatas) dibuat sesederhana mungkin yang diperkirakan tak akan memakan waktu produksi lama. Ternyata setelah urusan dari pihak kami semua beres giliran percetakan yang sedang ada gangguan, mesin cetaknya mogok perlu diservis dst.
Alhasil ketika kami terbang ke jakarta untuk persiapan display pameran, katalog pameran belum bisa ikut terbang karena belum selesai di potong!


Total ada 58 karya Lithografie yang dipamerkan, semula semua karya akan dipamerkan di gedung utama kemudian karena terlalu penuh sesak, saya memakai ruangan samping juga. Padahal sebelumnya saya sudak ketakutan kalau semua karya saya tak akan bisa membuat ruangan penuh, mengingat ruangan pamer yang memang lumayan luas.


Na ja dengan segala sesuatu yang serba mepet pembukaan pameran terlaksana juga pun tepat waktu. Salut saya untuk tim display bentara budaya jakarta yang cak-cak cepat dan rapi kerjanya. Pada saat pembukaan pameran yang datang banyak dari teman-teman seniman seperjuangan yang telah lama tak ketemu, menjadikan suasana seperti halal bi halal. Tak ketinggalan banyak juga pers tanah air yang meliput, rupanya mereka turut penasaran dengan teknik Lithografie. Sebuah teknik cetak kuno yang menjadi cikal bakal dunia percetakan modern.





Sunday 2 November 2014

Montor Pelet



Pada waktu aku masih ballita, ada istilah „montor Pelet“. Montor adalah pengucapan jawa dari kata Motor atau dalam hal ini mobil, sedang pelet dari melet posisi lidah yang menjulur keluar. Mungkin  karena bentuk depan mobil itu menyerupai orang yang menjulurkan lidah alias melet, makanya disebut pula Pelet, bukan pelet yang dimaksudkan sebagai guna-guna atau santet. Istilah tersebut salah satu yang menakutkan. "Montor Pelet" itu dikabarkan gemar memakan anak kecil. Makanya sebagai peringatan untuk kami anak kecil agar tak jauh-jauh dari halaman rumah sendiri ketika bermain-main. Cukup disekeliling rumah saja, memang cukup beruntung kami masih menikmati lingkungan desa yang asri dengan kebun yang cukup luas pun rindang,  jadi sebenarnya lebih dari cukup jika dibandingkan dengan kondisi sekarang.
 
Suatu ketika ketika kami hampir meninggalkan wilayah kebun yang luas itu menuju wilayah asing tetangga, lewatlah „montor pelet“ itu di jalan raya sana yang melintasi pinggiran kampung kami, suaranya meraung-raung mencari mangsa. Orang tua kami pun langsung teriak komando: awas ono montor pelet, masuk rumah!! Kami, aku dan sepupu-sepupuku yang sedang konsentrasi dengan permainan „ndog-ndogan“, langsung lari tunggang langgang masuk ke dalam rumah. Hanya berani mengintip dari lobang kunci, penasaran dan takut, perasaan campur aduk ingin melihat bentuk yang sebenarnya makhluk yang dikabarkan sangat keji tersebut. Ternyata tak muncul juga “montor pelet" itu, yang muncul kemudian adalah semakin riuhnya fantasi dikepala kami, semua hal yang menakutkan menjadi-jadi dan menari-nari di kepala, rasa takut akan montor pelet pun bertumpuk-tumpuk.

Pada suatu siang ada sebuah mobil VW combi, belakangan namanya saya tahu setelah saya bukan balita lagi, melintasi jalanan kampung kami yang sepi, mau kemana tujuannya nggak penting, yang jelas mobil itu hanya melintas di atas jalanan "makadam" yang jarang dilewati kendaraan apapun selain sepeda dan pejalan kaki, anehnya walaupun tak mengeluarkan bunyi-bunyian seperti "montor pelet" yang lewat di jalan raya tempo hari. Kami langsung disuruh masuk rumah untuk menyelamatkan diri. Lagi-lagi, kami terbirit-birit mematuhi perintah orang dewasa. Menjadi jelas sekarang bagi kami gambaran makhluk yang disebut “montor pelet” itu.

Konon kabarnya pada tahun-tahun itu beredar rumor banyak penculikan anak kecil, sehingga untuk menghindari sesuatu yang tak diinginkan para orang tua di kampung kami membuat mitos montor pelet tersebut. Apa pun alasannya keselamatan anak dari ancaman yang tidak diinginkan adalah tanggung jawab orang tua. 

Akhirnya seperti sudah diatur, saya bisa menulis kisah ini dengan selamat pula di negara produsen "Montor Pelet". Haha!