Saturday 31 October 2015

Menuju ke Frankfurt am Main



Ketika mendengar indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt book fair, aku ikut bangga walaupun dalam kenyataan tak terlibat apa-apa!. Mungkin karena rasa nasionalisme yang membara hasil gemblengan rezim Orba dengan P4-nya. Apalagi menyadari bahwa negara sebesar RI di jerman belum banyak dikenal oleh dunia (sebuah pertanyaan klise: indonesia sama bali sebelah mana?). Menyusul pertanyaanku suharto dan orde barunya kemana saja selama 32 tahun itu??. Sehingga ada rasa penasaran yang membuncah ingin menyaksikan bagaimana presentasi panitia indonesia tentang image indonesia di mata dunia melalui festival buku terbesar dan tertua sejagat itu.

Frankfurt sebenarnya hanya sebuah kota kecil, sehari jalan mondar-mandir dari ujung kota yang satu ke ujung kota yang lain bisa beberapa kali dilakukan. Sebelum lebih jauh, di jerman ada 2 Frankfurt, yang satu terletak di dekat sungai Oder yang letaknya di dekat kota brandenburg, yang kedua yang berada di dekat sungai Main, makanya disebut atau harus ditulis Frankfurt am Main. Di sinilah tempat event tahunan bookfair diselenggarakan. Dari kota ini seluruh penerbangan maskapai Lufthansa bertolak atau mendarat sebelum berpencar ke seluruh penjuru jerman. Jumlah penduduknya nggak sampai satu juta jiwa, cuma 700 orang!.

Walaupun sebuah kota kecil, banyak gedung pencakar langit menghiasi horizon, terutama sejak banyak kantor bank membuka cabangnya di sini, bursa efek-nya jerman juga ada di kota ini. Bangunan yang baru saja selesai tahun 2014 dibangun adalah sentral bank eropa, yang mempunyai ketinggian 185 meter. Melengkapi gedung-gedung tinggi yang menjadikan pemandangan kota frankfurt tiada duanya di jerman.

Bicara kriminalitas, kota kecil ini menempati peringkat pertama dari seluruh kota-kota di jerman. Data statistik menunjukkan dari waktu-kewaktu kota frankfurt terus menerus sebagai jawara kriminalitas. Bahkan oleh media dijuluki die Hauptstadt des Verbrechens/ibukota para penjahat dan Gefährlichstes Pflaster Deutschlands/jalanan paling berbahaya di jerman. Statistik di samping kanan adalah data dari tahun 2014. Perhitungannya berdasarkan laporan tindak kriminalitas per 100.000 jumlah penduduk. Peringkat satu sampai tiga kota di jerman yang paling berbahaya adalah frankfurt, köln, dan berlin. Semoga kita semua semakin berhati-hati lagi di mana pun kita berada, karena tindakan kriminal bisa terjadi bahkan di negara maju sekalipun. Eling lan Waspodo lah!

kepala janus


Pengalaman yang diperoleh dari berkunjung ke Frankfurt book fair bulan kemarin sungguh sangatlah berharga. Banyak sekali jika dihitung, baik yang positif atau pun sebaliknya, semuanya menjadi guru kita yang paling mumpuni. Hal ini dimetaforkan dengan baik mitologi yunani kepala janus.

Singkat cerita, ditengah ketidakpastian akan menginap di mana pada malam pertama di Frankfurt, tak sengaja aku bertemu rombongan wartawan dari indonesia yang salah satuya menawarkan tempat untuk tidur. Sungguh beruntung sekali badan ini, begitulah kebaikan dari orang sebangsa setanah air yang akan mustahil diharapkan pada budaya lain. Aku pun selamat dari hawa dingin musim gugur di kota itu yang sangat terkenal menusuk tulang karena hembusan angin dari sungai main.


Di hotel tempat para wartawan itu menginap, ternyata menginap juga rombongan sastrawan dan pengisi acara di bookfair. Tak sengaja pula aku ketemu dengan Jawara komik nasional yang dulunya kakak kelas di ISI yogyakarta, Beng Rahardian. Kami pun sarapan bersama di hotel, yang pagi itu ramai sekali dengan tamu-tamunya dari tanah air. Rupanya keberuntungan ini masih berlanjut. Melalui Beng aku kenalan dengan Gola Gong, penulis balada si Roy yang legendaris tahun 80-an. Sementara hilir mudik di tempat sarapan itu wajah-wajah yang biasanya hanya aku saksikan di koran dan televisi.

Selesai sarapan, dengan kartu sakti yang pagi itu aku dapat, berangkatlah aku dengan pendiri akademi samali ke Buchmesse. Dari stasiun pusat atau hauptbahnhof kami berjalan kaki menikmati jalanan frankfurt pagi hari itu yang muram, tak ada matahari angin sembribit dan ramai pejalan kaki. Rupanya hari itu ada kontes kostum manga!, tak sedikit di antara pejalan kaki yang memakai busana fantastis aneh-aneh, mereka berderap menuju arah yang sama dengan kami sebuah pameran buku yang konon terbesar dan tertua di dunia ialah frankfurt bookfair!.

Sampai di Paviliun aku lalu berjalan sendiri sementara sang kakak kelas menjalankan tugasnya, komik battle katanya. Menyaksikan dengan kagum display stand indonesia yang redup temaram syahdu. Ruangan yang begitu luas di ruangan yang dinamakan Forum itu terkesan menjadi sempit dan pas. Aku berjalan berdesakan diantara pengunjung dan dekorasi lampion yang menjulang ke atas langit-langit. Sambil sesekali mencoba menghubungi melalui sms dan wa teman yang sejak kemarin belum juga ketemu. Di depan pintu masuk ada meja panjang dengan para penjaga pintu yang selelu menebar senyum membagikan katalog-katalog dan souvenir dari negara yang menjadi tamu kehormatan tahun ini. Di belekang meja tersebut terpampang dua tulisan diatas bidang yang berbentuk leporelo atau zigzag. Sehingga kalau dari samping sudut tertentu akan terbaca dengan jelas masing-masing kalimat bijak dari dua pujangga dunia. Kalimat yang pertama adalah dari Pramudya ananta toer dan yang kedua dari sudut kanan terpampang kutipan terkenal dari Johann Wolfgang von Goethe, yang lahir dan besar di kota ini.

Di depan pintu masuk tersebut aku nongkrong diatas bangku-bangku anyaman rotan yang kokoh nan artistik bentuknya, dengan harapan ee siapa tahu akan ketemu teman lagi. Ternyata benar juga, banyak teman dan kenalan yang tidak harus janjian lebih dulu bisa ketemu ditempat itu. Ah orang kita ternyata masih bangga menjadi bagian dari NKRI walau bagaimana pun keadaannya. Acara seperti ini bsa menjadi media temu kangen sesama anak negeri. Buktinya dari pelbagai penjuru kota di jerman bahkan dari negra tetangga, mereka berbondong-bondong ikut mangayu bagyo perhelatan spektakuler ini. Ada teman yang tinggal di jakarta jauh hari mengabarkan kalau anaknya yang sekolah di denmark mau datang ke bookfair. Dari ibukota jerman Berlin datang juga teman yang sangat jarang ketemu, dari kota tertua di jerman Trier, rombongan keluarga yang aku kenal juga hadir, belum termasuk orang-orang yang tak terhitung jumlahnya yang belum aku kenal. Tak heran jika di akhir acara indonesia dinisbatkan menjadi tamu kehormatan terbaik sejak 10 tahun terakhir.

Malam hari itu akhirnya aku bisa juga ketemu dengan teman sejak hari pertama ingin ketemu, Ternyata dia yang mendesain grafis seluruh kontingen indonesia. Hebat semua orang-orang yang saat itu ada di sekelilingku, aku pun ikut bangga tentunya. Keberuntungan yang tak henti-hentinya mengucur, di lain sisi cerita musibah yang dialami panitia juga tak kepalang tanggung. Dari teman itu aku juga tahu ada cerita perampokan, pencurian dan masalah beacukai yang dialami dari teman panitia, prosentasenya mengerikan. Dari 60 orang ada 5 orang yang terkena musibah dari yang kategori ringan sampai yang berat kehilangan passport. Pada malam itu pula teman wartawan yang kemarin menampungku menginap dikamar hotelnya kehilangan amplop yang berisi uang yang lumayan jumlahnya, katanya amplop itu selalu barada di dalam tasnya, sementara tak sekejab pun tas itu berpisah darinya. Nah loh.. dalam posisi itu aku merasa tertuduh walaupun tak terucapkan, seketika rasa tak nyaman menjalar pada tubuh ini. Entah bagaimana caranya aku rasa tidak akan bisa meyakinkan bahwa aku bukanlah penjahat. Namun aku pun tak perlu membuktikan apa-apa pada teman yang kehilangan amplop tebal itu. Yang jelas aku telah berhutang budi padanya telah menyelamatkanku dari udara dingin muram musim gugur malam pertama di frankfurt.

Sekali lagi pengalaman adalah mahaguru.


Sunday 4 October 2015

Tutur Tinular

Sri Maryanto, 4 Kepala, 2000, Cat air di atas kertas

Hari ini setengah abad lampau sejauh yang aku dengar kabar burungnya, juga aku baca beberapa gelintir cerita yang sempat tertulis, suasana di jakarta sangat mencekam! bukan hanya di jakarta tapi di mana pun di seluruh wilayah indonesia, terutama di daerah di mana terdapat aktifis kiri berada. Antara bingung mau bertindak atau diam saja!

Dua kubu yang bisa diibaratkan minyak dan air sedang dalam gesekan. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya bahkan tak akan pernah tahu kalau dari peristiwa 50 tahun silam masih membekas sampai generasi sekarang bahkan dikhawatirkan masih akan terus menghantui generasi masa mendatang, selama belum ada penjelasan dari pihak pemerintah yang berkuasa, bagaimana sebenarnya peristiwa yang ditutup-tutupi itu bisa terjadi.

Kepada kami terus diberitahukan bahkan terus menerus dipaksa menerima pengetahuan sepihak bahwa orang-orang kiri itu lah yang memberontak, menyiksa dengan kejam, memotong kemaluan, mencongkel bola mata, pesta sex dan yang terakhir menurutku doktrin paling sukses adalah mengelabuhi orang banyak adalah bahwa orang-orang komunis itu anti Tuhan!.

Berita tentang otopsi dari tim forensik pada mayat tentara yang dikeluarkan dari lobang sumur tua tak pernah sampai masuk ke pemikiran masyarakat, karena beberapa alasan diatas telah menutup semua akal sehat sehingga tak lain dan tak bukan segera bertindak menuntut balas, yang lebih kejam lagi. Ephoria amuk mendapatkan bahan bakarnya. Para pelaku pembantaian lupa diri kalau mereka adalah juga manusia bukan dari golongan hewan. Alasan yang klasik adalah lebih baik membunuh dahulu daripada dibunuh.

Pembantaian massal yang terjadi pada hari, bulan bahkan beberapa tahun berikutnya itu tak pernah dipelajari dalam sejarah resmi. Aku masih beruntung masih sering mendengar celoteh saksi mata yang mengatakan bahwa di sungai-sungai besar yang melintasi kampung-kampung terpencil itu tempat mengebumikan orang kiri atau yang dituduh sebagai kiri, jadi tempat itu sekarang menjadi angker, hati-hati nak!. Celotehan yang mungkin tidak secara sengaja malah akan terus menghidupkan sejarah secara lisan, bahwa dulu telah terjadi peristiwa yang besar dan membekas dalam ingatan massal, seperti sebuah dongeng tutur tinular yang terus hidup tanpa dituliskan, kecuali jika cerita itu sudah sangat membosankan. Namun perlawanan terhadap rasa takut akan terulangnya peristiwa itu terjadi secara alamiah digethok tularkan kepada generasi penerus, suasana menakutkan yang diteruskan sebagai peringatan.

Pengetahuan yang dicekokkan ke otak siswa sekolah dasar negeri inpres oleh sang pemenang sama sekali berbeda dengan pengetahuan yang didapat langsung dari lingkungan. Ada sesuatu yang aneh yang dulu tak terbantahkan namun tidak tahu mau bertanya kemana. Ada dua kenyataan yang berdampingan tapi tidak saling bersentuhan, seperti air dan minyak.

Akhirnya rezim Suharto hancur tapi belum lebur, sejak itu kabar tentang peristiwa kelam tersebut semakin santer dan terbuka. Belakangan aku baru tahu, ternyata banyak tokoh-tokoh pemikir bangsa legendaris, yang ironisnya tak hidup di jaman Gestok pun ikut dihilangkan, karena dianggap mengancam pengetahuan yang sudah diresmikan pemerintahan Orde Baru. Begitulah setelah Orde Reformasi yang basa basi membuka keran kebebasan bersuara, paling tidak masyarakat sudah diberikan peluang untuk melihat dengan kacamata seimbang peristiwa masa lalu yang mendasari tatanan sosial pemerintahan sekarang.

Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah kondisi PKI dan ormas-ormasnya waktu itu, sudah divonis bersalah, walaupun belum tentu benar, dikejar-kejar, diburukan dan dibinasakan, tetap saja tak ada ampun untuk anak cucunya. Siapa yang bertanggung jawab: aku kira semua bisa menjawab tapi tak mampu melakukan apa-apa selain mengeluh dan mengeluh, karena negara lah yang paling berkuasa melakukan itu semua. Aku pribadi setiap dengan kata Rezim konotasinya sungguh mengerikan sekali.

Besok, setiap tanggal 5 Oktober akan diperingati secara besar-besaran hari ABRI, yang akan mempertontonkan kekuasaannya kepada rakyat biasa. Jangan macam-macam dengan yang punya senjata, kau akan binasa. Tentara untuk mengamankan negara dari ancaman luar malah mengancam dan memerangi rakyat sendiri, aneh.
Selamat menikmati ketakutan kawan atau melawan!