Saturday 31 October 2015

kepala janus


Pengalaman yang diperoleh dari berkunjung ke Frankfurt book fair bulan kemarin sungguh sangatlah berharga. Banyak sekali jika dihitung, baik yang positif atau pun sebaliknya, semuanya menjadi guru kita yang paling mumpuni. Hal ini dimetaforkan dengan baik mitologi yunani kepala janus.

Singkat cerita, ditengah ketidakpastian akan menginap di mana pada malam pertama di Frankfurt, tak sengaja aku bertemu rombongan wartawan dari indonesia yang salah satuya menawarkan tempat untuk tidur. Sungguh beruntung sekali badan ini, begitulah kebaikan dari orang sebangsa setanah air yang akan mustahil diharapkan pada budaya lain. Aku pun selamat dari hawa dingin musim gugur di kota itu yang sangat terkenal menusuk tulang karena hembusan angin dari sungai main.


Di hotel tempat para wartawan itu menginap, ternyata menginap juga rombongan sastrawan dan pengisi acara di bookfair. Tak sengaja pula aku ketemu dengan Jawara komik nasional yang dulunya kakak kelas di ISI yogyakarta, Beng Rahardian. Kami pun sarapan bersama di hotel, yang pagi itu ramai sekali dengan tamu-tamunya dari tanah air. Rupanya keberuntungan ini masih berlanjut. Melalui Beng aku kenalan dengan Gola Gong, penulis balada si Roy yang legendaris tahun 80-an. Sementara hilir mudik di tempat sarapan itu wajah-wajah yang biasanya hanya aku saksikan di koran dan televisi.

Selesai sarapan, dengan kartu sakti yang pagi itu aku dapat, berangkatlah aku dengan pendiri akademi samali ke Buchmesse. Dari stasiun pusat atau hauptbahnhof kami berjalan kaki menikmati jalanan frankfurt pagi hari itu yang muram, tak ada matahari angin sembribit dan ramai pejalan kaki. Rupanya hari itu ada kontes kostum manga!, tak sedikit di antara pejalan kaki yang memakai busana fantastis aneh-aneh, mereka berderap menuju arah yang sama dengan kami sebuah pameran buku yang konon terbesar dan tertua di dunia ialah frankfurt bookfair!.

Sampai di Paviliun aku lalu berjalan sendiri sementara sang kakak kelas menjalankan tugasnya, komik battle katanya. Menyaksikan dengan kagum display stand indonesia yang redup temaram syahdu. Ruangan yang begitu luas di ruangan yang dinamakan Forum itu terkesan menjadi sempit dan pas. Aku berjalan berdesakan diantara pengunjung dan dekorasi lampion yang menjulang ke atas langit-langit. Sambil sesekali mencoba menghubungi melalui sms dan wa teman yang sejak kemarin belum juga ketemu. Di depan pintu masuk ada meja panjang dengan para penjaga pintu yang selelu menebar senyum membagikan katalog-katalog dan souvenir dari negara yang menjadi tamu kehormatan tahun ini. Di belekang meja tersebut terpampang dua tulisan diatas bidang yang berbentuk leporelo atau zigzag. Sehingga kalau dari samping sudut tertentu akan terbaca dengan jelas masing-masing kalimat bijak dari dua pujangga dunia. Kalimat yang pertama adalah dari Pramudya ananta toer dan yang kedua dari sudut kanan terpampang kutipan terkenal dari Johann Wolfgang von Goethe, yang lahir dan besar di kota ini.

Di depan pintu masuk tersebut aku nongkrong diatas bangku-bangku anyaman rotan yang kokoh nan artistik bentuknya, dengan harapan ee siapa tahu akan ketemu teman lagi. Ternyata benar juga, banyak teman dan kenalan yang tidak harus janjian lebih dulu bisa ketemu ditempat itu. Ah orang kita ternyata masih bangga menjadi bagian dari NKRI walau bagaimana pun keadaannya. Acara seperti ini bsa menjadi media temu kangen sesama anak negeri. Buktinya dari pelbagai penjuru kota di jerman bahkan dari negra tetangga, mereka berbondong-bondong ikut mangayu bagyo perhelatan spektakuler ini. Ada teman yang tinggal di jakarta jauh hari mengabarkan kalau anaknya yang sekolah di denmark mau datang ke bookfair. Dari ibukota jerman Berlin datang juga teman yang sangat jarang ketemu, dari kota tertua di jerman Trier, rombongan keluarga yang aku kenal juga hadir, belum termasuk orang-orang yang tak terhitung jumlahnya yang belum aku kenal. Tak heran jika di akhir acara indonesia dinisbatkan menjadi tamu kehormatan terbaik sejak 10 tahun terakhir.

Malam hari itu akhirnya aku bisa juga ketemu dengan teman sejak hari pertama ingin ketemu, Ternyata dia yang mendesain grafis seluruh kontingen indonesia. Hebat semua orang-orang yang saat itu ada di sekelilingku, aku pun ikut bangga tentunya. Keberuntungan yang tak henti-hentinya mengucur, di lain sisi cerita musibah yang dialami panitia juga tak kepalang tanggung. Dari teman itu aku juga tahu ada cerita perampokan, pencurian dan masalah beacukai yang dialami dari teman panitia, prosentasenya mengerikan. Dari 60 orang ada 5 orang yang terkena musibah dari yang kategori ringan sampai yang berat kehilangan passport. Pada malam itu pula teman wartawan yang kemarin menampungku menginap dikamar hotelnya kehilangan amplop yang berisi uang yang lumayan jumlahnya, katanya amplop itu selalu barada di dalam tasnya, sementara tak sekejab pun tas itu berpisah darinya. Nah loh.. dalam posisi itu aku merasa tertuduh walaupun tak terucapkan, seketika rasa tak nyaman menjalar pada tubuh ini. Entah bagaimana caranya aku rasa tidak akan bisa meyakinkan bahwa aku bukanlah penjahat. Namun aku pun tak perlu membuktikan apa-apa pada teman yang kehilangan amplop tebal itu. Yang jelas aku telah berhutang budi padanya telah menyelamatkanku dari udara dingin muram musim gugur malam pertama di frankfurt.

Sekali lagi pengalaman adalah mahaguru.


No comments:

Post a Comment