Friday 25 December 2015

Empat jam Petualangan (bag.1)

Hari itu jumat seperti biasa namun akan menjadi sebuah pengalaman yang tidak biasa.

Sore setelah selesai melukis di kampus AdBK münchen, aku mulai berkemas untuk istirahat dan pulang. Salah satu lukisan yang selesai aku copot dan gulung, agar nanti spanramnya bisa dipakai lagi. Maklum di jerman aku nggak punya ruang atau gudang untuk menyimpan karya yang luas, jadi setiap karya selesai langsung digulung agar lebih irit tempat untuk menyimpan.

Gulungan lukisan itu mempunyai diameter 10 cm dengan panjang kira-kira 120 cm, dibungkus kertas koran bekas. Yak sip.. nggak ada barang yang ketinggalan, aku pamit ke teman-teman sekelas yang masih berkerja waktu itu, jalan ke arah U Bahn, stasiun kereta bawah tanah dengan gulungan lukisan yang menurut profesorku cukup bagus. Dari stasiun U Bahn saya akan pindah ke S Bahn, kereta listrik lainnya yang melayani trayek sampai kota-kota kecil pinggiran münchen, termasuk kota kecil di mana kami tinggal.

Dari Marienplatz, stasiun S Bahn yang juga ada di bawah tanah, naik naiklah aku S Bahn jalur 7 atau S7 sampai stasiun terakhir. Pada jam-jam pulang kerja seperti sore itu, jam 4:10 kereta cukup penuh bahkan sering kayak es cendol kondisi dalam gerbong. Saya selalu pilih masuk gerbong pertama paling belakang, biasanya para penumpang lebih suka ambil tempat paling depan dan seterusnya. Untuk info saja, bila siang atau jam sibuk S Bahn menarik 2 buah kereta yang terpisah, masing masing kereta itu terdiri dari beberapa gerbong yang tembus dari ujung depan sampai belakang. Dengan pertimbangan longgarnya tempat aku memilih duduk santai di bagian belakang yang biasanya untuk parkir sepeda, ada deretan bangku yang naik sendiri kalau nggak dipakai, jadi tak perlu berdesak-desakan di gerbong depan, walaupun juga nanti pas mau keluar saya juga merangsek ke depan, namun situasinya sudah berbeda, penumpang semakin sedikit seiring mendekati stasiun akhir. Perjalanan menuju stasiun terakhir, larinya S Bahn ini mirip dengan kereta ekonomi yang harus berhenti di beberapa stasiun untuk menaik-turunkan penumpang kemudian langsung jalan lagi.
 
Perjalanan ke rumah cukup memakan waktu, jadi alangkah baiknya kalau yang kurang lebih 40 menit tersebut (menurut jadwal, yang kadangkala juga molor karena gangguan listrik, simpangan dst.) dimanfaatkan untuk membaca, begitulah yang dilakukan banyak penumpang jarak jauh di sini, lumayan nggak bengong nan bosan
Gulungan lukisan lalu aku taruh di atas rak di atas di mana aku duduk manis, sementara aku keluarkan bacaan pembunuh waktu sore itu, buku yang kali ini dapat giliran adalah novelnya laksmi Pamuncak berjudul Aruna dan lidahnya. Ceritanya tentang 3 orang sahabat yang gemar berburu kuliner. Saking serunya menyimak perjalanan mereka bertiga itu dari warung, kedai dan restoran mencari referensi rasa, perjalananku pun sampai tujuan, stasiun wolfratshausen. Makanya saudaraku sekalian bacalah di mana pun kalian berada! Iqra!

Dari Stasiun Wolfratshausen aku naik Bis kota yang mengantar para penumpang ke daerah yang tak dijangkau jalur S Bahn atau Schnell Bahn/kereta cepat. Dengan percaya diri aku naiki bis ke arah dusun kecil di mana aku selama ini menetap. Namun begitu sampai dan turun dari bis kota yang nggak pakai kernet itu di halte bis depan dusun kecil yang suasananya lebih sepi dari kuburan kalau pas nyadran, aku baru sadar kalau gulungan lukisan kanvasku masih ada di S Bahn!!

No comments:

Post a Comment