Tuesday 12 October 2010

Frida Kahlo dan Palu Arit (tahap 2)


..akhirnya bergeser sedikit demi sedikit, kami sampai di ujung tangga menuju lantai atas, namun masih juga menunggu penjaga yang sungguh necis perlente memberi isyarat untuk naik tangga dari marmer ke arah kanan, karena yang ke arah kiri menuju ruang pameran yang lain, adalah seniman kontemporer dari Kopenhagen: Olafur Eliasson yang artinya Olafur anaknya Elias, walaupun karyanya lebih up to date pula kontemporeeeer.., pengunjung lebih tertarik untuk melihat pamerannya seniwati dari meksiko, ini terbukti dari tidak ada antrian sebatang pun yang menuju ke arah kiri, ke arah ruang yang memajang karya-karya seniman kontemporer Denmark itu.

Agak lama juga kami berdiri di depan tangga marmer, memperhatikan penjaga yang aktif dengan HT-nya, mungkin sedang brik-brik-an dengan koleganya di pintu keluar untuk memantau jumlah pengunjung yang sudah keluar, sebagai referensi pertimbangan jumlah pengunjung yang boleh menaiki tangga...isyarat itu akhirnya datang juga, aku dan berturut-turut tidak sampai sepuluh orang di belakangku dipersilahkan untuk naik ke atas, kemudian lagi-lagi masih antri juga di atas undak-undakan, yang karenanya membelok sepanjang dinding ruangan, kami bisa melihat antrian di lantai bawah, yang tetap saja seperti tak ada ujungnya, padahal jam besuk pameran terbatas, cuma sampai jam 8 malam. Sedangkan kami pun belum memasuki ruangan, tanda waktu sudah jam 3 sore lebih!! bisa dibayangkan betapa pendeknya kesempatan untuk melahap seluruh hidangan karya dengan sepenuh jiwa.

Mendekat ke arah pintu masuk...di sebelah kiri terdapat stand penjaga, yang menyediakan alat mirip remote control, lebih besar dari pisang ambon, terdapat tombol-tombol dan speaker, gunanya untuk memperdengarkan informasi terkait. Baru kali ini aku melihat alat yang seperti itu karena biasanya terdapat earphone-nya, tapi yang ini kita harus menempelkan alat itu ke telinga, mirip sedang menelepon seseorang, namun tak halo-halo..
Di depan lobang masuk ruang pameran, yang tampak gelap dari luar, terdapat dua orang penjaga, laki dan perempuan yang sudah tua, aku menduga mereka bukan sekedar penjaga biasa melainkan petugas yang sangat berkompeten dan sudah berpengalaman bertahun-tahun pula telah tercerahkan ratusan bahkan ribuan karya seni yang singgah di Gedung Martin Gropius ini. Dua penjaga itu dengan sopan dan elegan mengamati pengunjung yang sedang berdiri antri, grapyak menyapa antrian paling depan, matanya tetap awas kalau-kalau ada yang membawa sesuatu yang dilarang ke dalam ruang pamer. Waktu itu ada pengunjung yang kedapatan membawa tas ransel. Penjaga yang sudah tua tadi menyuruh perempuan itu turun lagi untuk menitipkan tasnya di Garderobe lantai dasar. Masih untung dia tetap diberi urutan antrian yang sama ketika datang lagi sambil menenteng isi tas ranselnya tadi..Laptop. Kemungkinan seorang jurnalist atau mahasiswa yang dapat tugas menulis tentang sebuah pameran, karena begitu masuk ruang pameran, jari-jarinya langsung bekerja memencet-mencet tuts huruf di keyboard laptopnya.

Kami pun masuk....
cahaya remang-remang menyambut, lampu spot diarahkan ke lembaran-lembaran kertas putih di dinding, berisi penjelasan, kronologi juga curicullum vitae sang seniwati dalam dua bahasa: deutsch dan english. Suasana hening, semua sibuk membaca dalam hati, kalaupun ada yang berbicara pasti bisik-bisik mirip di ruang perpustakaan yang sebenarnya. Aku pun ikut-ikutan membaca, dengan mengerutkan kening kukerahkan aji level grundstufe ke empat...lumayan, lebih dari 50 % kira-kira bisa ku mengerti tulisan yang banyak sekali ..sch-nya itu.

Frida Kahlo dilahirkan tanggal 6 juli 1907 di Coyoacan, Meksiko city, yang kemudian olehnya sendiri tahun kelahirannya digeser ke tahun 1910, tepat dengan tahun revolusi Meksiko!
Leluhur dari garis ayah berasal dari pengembara Jahudi Hongaria yang menetap di daerah Baden Baden, Jerman. Kakeknya, Jakob Heinrich Kahlo lahir 1819 di Frankfurt, menikah dengan Henriette Kaufmann dari Pforzheim. Wilhelm bapaknya Frida merupakan anak ke tiga pasangan itu, berturut-turut Herminie, Marie, Wilhelm, ketika melahirkan anak ke empat: Carolina, Henriette neneknya Frida meninggal dunia pada usia 38 tahun! Rupanya sang kakek tak tahan sendirian, dikelilingi anak yang masih kecil-kecil, akhirnya tiga tahun kemudian dia kawin lagi dengan ludowika Rahm. Besar kemungkinan inilah yang menyebabkan Wilhelm muda, 18th, melalui pelabuhan Hamburg bertolak merantau ke Meksiko dan tak pernah kembali lagi ke Jerman sampai ajalnya.
Di Meksiko nama Wilhelm disesuaikan dengan bahasa spanyol menjadi Guillermo. Umur 22 tahun Guillermo menikah dengan Maria Cardena, namun 4 tahun kemudian istrinya meninggal dunia, meninggalkan 2 anak. Tak lama pula keluarga baru dibangunnya bersama Matilde Calderon anak seorang photografer. Dari istri yang kedua inilah lahir anak ke tiga yang berjudul: Magdalena Carmen Frieda Kahlo Y Calderon. Ketika Frida lahir itu bapaknya sudah terkenal sebagai fotografer seni, yang berarti bukan sembarang tukang foto.
Ketika Kahlo tua yang di jerman meninggal dunia, terjadi keributan soal warisan, kendati demikian Guillermo tetap memperoleh bagian wajib yang minimum, dipakainya lah uang warisan itu untuk membangun sebuah rumah di Coyoacan, yang oleh Frida kemudian dindingnya dicat warna biru indigo untuk melawan roh-roh jahat!! Semenjak itu terkenal dengan sebutan Casa Azul-Rumah Biru dan sekarang jadi Museum Frida Kahlo.

Beranjak ke ruangan berikutnya, dipajang foto-foto yang merunut para leluhur seniwati, foto kakek-neneknya, masa kecil, dewasa dan saat-saat terakhir sebelum kematiannya. Foto-foto yang tergantung memenuhi ruangan itu, katanya baru pertama kali ini dipublikasikan secara komplet dalam sebuah pameran. Sangat beruntung Eropa memiliki kelembaban udara yang bersahabat dengan material terlebih bahan kertas yang ringkih di alam tropika, sehingga peninggalan karya fotografi sebelum perang dunia I masih sangat terawat.

Selanjutnya kami memasuki ruangan yang memajang karya-karya sang seniwati yang mengundang decak kagum, dimulai dengan lukis potret dirinya.
Seperti telah anda semua ketahui, Frida mengalami kecelakaan maut pada umur 18 tahun, yang mengharuskannya tetap berada di atas tempat tidur dalam jangka waktu yang lama, karena tulang belakangnya remuk sehingga perlu dipasang batang platina sebagai penyangga dan memakai korset dari Gips! Untuk mengusir kejenuhan, ayahnya memberi peralatan melukis, yang kemudian menjadi jalan hidupnya. Lukisan telah menjadi alasan yang serius pada diri Frida untuk bertahan hidup!!.
Terlampau banyak juga tulisanku nanti walaupun hanya menyebut satu persatu judul karya yang dipajang, sekitar 150 karya, jadi ku langsung menuju ruang berikutnya yang berisi karya-karya yang bertema surealis, tidak mengherankan juga pengaruh surealisme sangat kuat karena memang ketika Frida anjangsana ke eropa, tepatnya di kota Paris dia berteman akrab dengan tokoh-tokoh surealisme, macam Andre Breton, Max Ernst, Paul Eluard, Joan Miro, Yves Tanguy dan Wolfgang Paalen. Sebuah lingkungan yang sangat mendukung kelanjutan karir kesenimanan tentu saja, apalagi masih terdapat deretan nama tersohor lain yang berada di lingkungan itu, seperti Picasso, kandinsky dst. Ketika di paris, Frida menghibahkan satu karyanya untuk museum louvre, yang pertama kali seniman dari meksiko.
Ruangan berikutnya memajang karya-karya sketsa, yang menurutku sebagai periode bingung, antara belajar gambar bentuk dan abstrak, namun begitu tetaplah karya yang sangat penting untuk melihat sejarah perjalanan seorang yang terkenal dengan sebutan Popstar des Schmerzen.
Ruangan berikutnya memajang koleksi benda-benda milik Frida, seperti Baju adat meksiko yang telah dimodifikasi sedemikian rupa olehnya sendiri, dan yang menarik pula patut diceritakan adalah korset dari bahan gips yang telah menyangga tubuhnya selama proses penyembuhan tulang belakang.
Bagi anda yang telah menonton film Frida yang diperankan Salma Hayek, tentu masih ingat ketika pacarnya pamitan mau ke Eropa dalam jangka waktu tak terbatas, Frida menggambari korset gipsnya dengan gambar kupu-kupu.. tak lebih, ketika aku melihat korset Gips yang sebenarnya di ruang pamer ini, berdesir jantung ini tandanya aku lahir dari jaman orde baru. Tepat di tengah-tengah bagian dada adalah gambar Palu Arit berwarna merah yang telah sedikit pudar.
Gambar palu dan arit yang merupakan simbol persatuan buruh dan petani, sejatinya telah dipakai sejak meletusnya revolusi Bolshevik 1917, namun baru tahun 1922 secara resmi dipakai sebagai lambang partai komunis. Di tanah air gambar ini merupakan sebuah aib, barang siapa ketahuan mempunyai atau menyimpannya akan segera berurusan dengan yang berwajib! lebih ngeri lagi jika ketahuan yang tidak berwajib alias yang partikelir. Sampai sebegitu paranoidnya sebagian masyarakat kita bahkan menganggap gambar Palu dan Arit adalah lambang dari alat-alat yang dipakai untuk menyiksa para jendral dan penentang PKI..hiii..ngeriiii...
Benar juga ucapan A.H. Nasution, Seorang Jendral yang selamat dari penculikan gerakan 30 september, peristiwa yang masih tetap berselimut kabut sampai sekarang, dalam sebuah film, yang dulu ketika aku masih dalam masa pertumbuhan adalah tontonan wajib setiap tahun di TVRI, bahwa: Fitnah lebih kejam dari pembunuhan! yang apabila dibalik: Pembunuhan tidak lebih kejam daripada fitnah!!! ...wah yang ini lebih ngeriiii lagi....
ok deh... daripada bulu kuduk semakin tegak berdiri, aku sudahi dulu tulisan ini.

Mungkin akan bersambung....
sm




1 comment:

  1. halo Anto, aku ikutan merinding juga baca liputanmu tentang pameran Fr. Kahlo ini.

    ReplyDelete